Rabu, 04 Juli 2012

Dosa Dan Maksiat Menghambat Rezeki

Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ

"Sesungguhnya seorang manusia kerap terhalang dari rezeki disebabkan dosa yang dilakukannya."
Takhrij Hadits
Petikan hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya jilid II halaman 489 nomor 4087 dari jalur Ali bin Hasan. Ali bin Hasan mendapatkan cerita dari Waki’, dari Sufyan, dari Abdullah bin Isa, dari Abdullah bin Abil Ja’di, dari Tsauban (budak yang dimerdekakan Rasulullah saw.), dari Rasulullah saw. Secara lengkap, hadits tersebut berbunyi:

لاَ يَزِيْدُ فِى الْعُمْرِ إِلاَّ الْبِرُّ وَلاَ يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلاَّ الدُّعَاءُ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ

"Tidak dapat menambah usia kecuali kebaikan. Tidak bisa menolak ketentuan (takdir) kecuali doa. Sesungguhnya seorang manusia kerap terhalang dari rezeki disebabkan dosa yang dilakukannya."

As-Suyuthi meletakkan hadits ini dalam “Jami’ Ash-Shaghir”. Menurutnya, selain Ibnu Majah, hadits itu juga diriwayatkan oleh Nasai, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata bahwa nilai hadits tersebut shahih. Kesahihan hadits ini dikuatkan oleh Adz-Dzahabi dan Al-Iraqi. Al-Mundziri menegaskan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Nasai melalui jalur periwayatan (isnad) yang shahih. Periksa Faidlul Qadir karya Al-Munawi jilid II halaman 232.

Makna Hadits
Rezeki menurut para ulama ialah “apa saja yang bisa dimanfaatkan (dipakai, dimakan, atau dinikmati) oleh manusia”. Rezeki dengan demikian meliputi uang, makanan, ilmu pengetahuan, rumah, kendaraan, pekerjaan, anak-anak, isteri, kesehatan, ketenangan, dan segala sesuatu yang dirasa nikmat dan membawa manfaat bagi manusia. Selama ini orang banyak mengkaitkan rezeki dengan uang. Hal ini tidak seluruhnya salah, karena pada saat ini dengan uang (fulus), orang bisa meraih kenikmatan dan memperoleh manfaat duniawi dan ukhrawi apa saja. Rezeki merupakan kelengkapan yang pasti dikaruniakan oleh Allah swt. kepada makhluk yang hidup di dunia, khususnya manusia. Sebagaimana ajal, keberadaan rezeki manusia telah dijamin oleh
Allah swt. Tidak ada manusia hidup di dunia tanpa dilengkap rezeki. Allah swt. menegaskan:

وَاللهُ الَّذِى خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ

"Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali)." (Q.S. Ar-Ruum: 40)

Manusia dijamin pasti dikarunia rezeki seluruhnya, hanya persoalannya, ada manusia yang rezekinya lancar, ada yang seret, ada yang luas, ada yang sempit, ada yang mudah, ada yang sulit, ada yang murah, ada yang mahal, dan sebagainya. Masing-masing telah ada ukurannya. Hal ini kembali kepada otoritas Allah swt., karena ketentuan rezeki sebagaimana ajal ada di tangan-Nya. Manusia tidak bisa turut campur di dalamnya. Ibaratnya, rezeki adalah nasib.

Meski rezeki tak ubahnya merupakan nasib, untuk mendapatkannya, manusia haruslah berusaha (ikhtiar), sesuai dengan sunnatullah (hukum alam). Manusia tidak boleh menyerah begitu saja. Langit tidak akan menurunkan hujan emas. Rezeki tidak akan turun sekonyong-koyong, tetapi melalui berbagai proses atau jalan. Ada proses bekerja. Ada proses berdoa. Ada proses ketekunan. Ada proses ketabahan. Dan sebagainya.

Di sinilah manusia diuji. Apakah dalam ikhtiarnya untuk mendapatkan rezeki itu, manusia melakukan jalan usaha yang wajar atau tidak wajar (jalan pintas) seperti dengan menggelapkan atau dengan memperalat jin (istikhdam). Apakah dalam mencari rezeki, manusia melewati proses yang halal atau proses yang haram. Apakah ada ungkapan syukur setelah mendapatkan rezeki melimpah. Adakah sikap sabar dan tabah manakala rezekinya seret.

Atas dasar ini, dalam mencari rezeki, manusia harus memakai cara-cara yang elegan dan islami, tidak tergesa-gesa dalam mendapatkannya dengan mengambil jalan pintas yang tidak halal, atau mengejarnya habis-habisan hingga mengabaikan aspek ibadah dan dakwah, toh pada akhirnya rezeki manusia telah ada takarannya. “Tidak akan lari gunung dikejar.” Manusia tidak akan mati kecuali rezekinya telah disempurnakan. Rezeki itu bahkan akan selalu mengejar manusia sebagaimana manusia dalam hidupnya akan selalu dikejar oleh ajal kematian. Sabda Rasulullah saw. memperingatkan:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ ! اِتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِى الطَّلَبِ ؛ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا . فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِى الطَّلَبِ : خُذُوْا مَا حَلَّ وَدَعُوْا مَا حَرُمَ – رواه ابن ماجه والحاكم

"Wahai sekalian manusia, takutlah kepada Allah dan lakukanlah keanggunan dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya jiwa manusia tidak akan mati sehingga disempurnakan rezekinya, walaupun ia lamban dalam bergerak mencarinya. Takutlah kepada Allah dan lakukanlah keanggunan dalam mencari rezeki. Ambillah rezeki yang halal dan tinggalkanlah rezeki yang haram." (H.R. Ibnu Majah dan Al-Hakim)

Hadits tersebut di atas menyatakan bahwa perbuatan dosa dan ma’shiat yang dilakukan oleh manusia yang beriman bisa menghambat kelancaran rezekinya. Rezeki orang yang beriman bisa seret, sempit, sulit, dan mahal, manakala dirinya melakukan perbuatan dosa dan ma’shiat kepada Allah swt.

Mengapakah hujan tidak turun? Mengapakah musim panen gagal? Mengapakah terjadi krisis di negeri muslim? Mengapakah perputaran uang tiba-tiba berubah menjadi seret? Mengapakah ilmu pengetahuan sulit ditangkap? Mengapakah hapalan mudah lepas? Bila fenomena itu terjadi, agaknya kita perlu mengoreksi diri, jangan-jangan ada perbuatan dosa dan ma’shiat yang terjadi di sekitar kita, bahkan melibatkan diri kita.

Jika kita rutin dan giat menjalankan shalat, misalnya, tiba-tiba rutinitas itu mandeg, kegiatan itu tiba-tiba kendor, dan pada saat yang sama rezeki kita tampak seret, tidak seperti biasanya, maka kita harus menginsafi diri. Boleh jadi itu adalah peringatan dari Allah swt. agar kita tidak mandeg dan kendor dalam menjalankan ibadah. Kemandegan dan kekendoran dalam ibadah itu boleh jadi merupakan faktor yang menjadi penghalang datangnya karunia Tuhan kepada kita secara luas.

Imam Malik bin Anas begitu kagum terhadap kecerdasan Asy-Syafii, santrinya. Imam Malik bin Anas, sang guru, lalu berpesan kepada Asy-Syafii, “Sesungguhnya aku melihat Allah telah menaruh cahaya di hatimu, maka jangan engkau padamkan cahaya itu dengan kema’shiatan.” (Al-Jawab Al-Kafi, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah: 82)

Asy-Syafii bersenandung yang cukup terkenal di dunia pendidikan Islam. Senandung ini kami dapati dalam kitab karya Al-Muhasibi berjudul “Risalatul Mustarsyidin” yang disunting oleh Abdul Fattah Abu Ghaddah halaman: 218:

شَكَوْتُ إلى وكيع سوء حفظى فأرشدنى إلى ترك المعاصى
فأخبرنى بأن العلم نور ونور الله لا يهدى للعاصى
Aku mengeluhkan jeleknya hafalanku kepada guru Waki’. Beliau lalu memberi petunjuk kepadaku agar meninggalkan kema’shiatan. Beliau menjelaskan kepadaku bahwa ilmu merupakan cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berma’shiat.
Waki’, nama lengkapnya adalah Waki’ bin Jarrah Al-Kufi. Ibnu Hajar menceritakan bahwa Waki’ adalah orang yang sangat kuat dalam menghafal. Jika kebanyakan orang menghafal secara memaksa atau “ngoyo”, dia menghafal justru secara alamiah. Ali bin Khasyram berkata, “Aku melihat Waki’ dan aku tidak pernah melihat tangannya membawa buku. Ternyata dia menghafal. Aku bertanya kepadanya: “Apakah obat agar kuat hafalan?! Waki’ menjawab, “Meninggalkan kema’shiatan.”

Imam Abu Hanifah ra., manakala menjumpai suatu problem dalam menyelesaikan masalah, dia berujar kepada santri-santrinya, “Hal ini tidak terjadi kecuali karena dosa yang baru saja aku lakukan.” Beliau lalu beristighfar, dan kadang langsung beranjak shalat, maka tersingkaplah masalah yang menjadi problem baginya itu, seraya berkata, “Mudah-mudahan taubatku diterima.” Cerita ini kemudian sampai kepada Fudhail bin Iyadh. Demi mendengar cerita itu Fudhail bin Iyadh menangis keras-keras kemudian berkata, “Itu dilakukan Abu Hanifah karena sedikitnya dia memiliki dosa, adapun selain Abu Hanifah tidaklah memperhatikan perkara ini.”

Sahabat Abdullah bin Abbas ra. menegaskan fakta ini. Katanya, “Sesungguhnya amal kebajikan memiliki cahaya di dalam dada, keceriaan pada muka, kekuatan di badan, keluasan dalam rezeki, dan kecintaan di hati para makhluk, sedang perbuatan dosa memiliki kegelapan di dalam hati, keburukan di muka, kelemahan di tubuh, kekurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati para makhluk.” (Risalatul Mustarsyidin, Al-Muhasibi: 218)

Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Aku berkeyakinan seseorang bisa jadi lupa terhadap suatu ilmu yang dulunya dikuasai adalah dikarenakan dosa yang diperbuatnya.”

Atas dasar ini, manakala terasa dikarunia rezeki dari Allah swt. apakah berupa uang, ilmu pengetahuan, makanan, rumah, pekerjaan, kesehatan, rumah tangga yang harmonis, atau lainnya, maka hal itu harus diupayakan kelestariannya. Caranya tiada lain ialah dengan menjauhi dan menghindari perbuatan dosa dan mas’shiat. Hal ini karena perbuatan dosa dan mas’shiat di kala menerima nikmat berupa rezeki akan bisa menghambat atau memutus kelancaran rezeki itu. Dalam syair dikatakan:

إِذَا كُنْتَ فى نعْمَةٍ فارعها إن المعاصي تزيل النعم
Jika kamu berada dalam suatu nikmat maka peliharalah nikmat itu. Sesungguhnya kema’shiatan bisa melenyapkan nikmat-nikmat itu.
Hadits tersebut di atas menyatakan bahwa perbuatan dosa bisa menghambat rezeki. Di balik kandungan hadits ini tersirat pengertian bahwa giat beribadah akan bisa memperlancar aliran rezeki dari Tuhan kepada manusia.

Hal ini berarti semakin seseorang giat beribadah maka rezekinya akan semakin lancar. Allah swt. memberikan jaminan dalam kitab suci Al-Qur’an bahwa seandainya penduduk bumi beriman dan bertakwa niscaya pintu-pintu keberkahan bumi akan dibuka lebar-lebar. Barangsiapa bertakwa maka Allah akan memberikan jalan keluar kepadanya sekaligus memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangka.
Dengan demikian tidak didapati pertentangan antara ibadah dengan mencari rezeki. Inilah Islam dan inilah ajaran yang dideklarasikan oleh baginda Rasulullah saw. Pandangan sementara kalangan yang menyatakan bahwa ibadah akan menghambat rezeki atau rezeki tidak akan berjalan dengan aktivitas ibadah yang baik merupakan pandangan yang tidak berdasar fakta. Ibadah kenyataannya justru menjadi sinergi bagi aktivitas mencari rezeki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar