Senin, 25 Juni 2012

Prospektik Tasawuf di Indonesia

K I N I
Melihat perkembangan Islam di Asia Tenggara; Indonesia, Malaysia dan lainnya sepuluh tahun belakangan, salah satu pertanda paling mencolok adalah perhatian pada tasawuf di samping segi sosial-politik Islam yang seringkali kontroversial. Kalau kita memperhatikan laporan media-massa, kita akan mendapatkan betapa sering muncul laporan mengenai perkembangan tasawuf itu, seolah-olah ada kecenderungan baru cara keberagaman masyarakat yang beralih ke cara Sufistik.
Demikian yang sedang merebak adalah sufi perkotaan. Fenomena baru itu terjadi karena makin banyak santri-santri kota yang kian gemar mempelajari agama Islam. Secara historis, aktivitas tersebut merupakan pemodernan dari gerakan tasawuf sebelumnya. Dengan kata lain, orang ingin mempelajari tasawuf secara sungguh-sungguh dan tak lagi menganggap sesuatu yang kerap dipandang sebagai kekunoan, itu sebagai kajian di luar Islam.
Sesederhana apa pun, aktivitas ketasawufan di perkotaan bisa dianggap sebagai kebangkitan tasawuf. Itu karena masyarakat jenuh pada ibadah-ibadah yang hanya mengejar legalisme dan formalisme. Ketakinginan hidup dalam kehampaan spiritual, kehilangan visi keilahian, dan kerusakan moralitas juga turut mendorong kebangkitan tasawuf di perkotaan. Namun, segala sesuatu ada sejarahnya. Tasawuf sebenarnya muncul sebagai solusi krisis. Pertamakali tasawuf muncul di dunia islam, ketika dunia Islam dilanda oleh materialisme, pada generasi tabi’in diperiode Umayah. Ketika materialisme melanda kaum muslimin di masa tabi’in, maka munculah Hasan al Basri yang menawarkan paradigma lain, lahir berikutnya al Gazali dan lain sebagainya.
Jadi setiap kali ada krisis, akan muncul sufisme. Di Indonesia juga begitu, ketika krisis melanda Indonesia 1997, maka fenomena tasawuf menjadi luar biasa, buku tasawuf dan majalah semacam Cahaya Sufi ini laku keras yang dibarengi dengan kemunculan Arifin Ilham, AA Gym, Ary Ginanjar, Amin Syukur dan masih banyak nama lain pengusung tasawuf. Semua itu berangkat dari kebutuhan psikologis secara massal.
Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa mereka yang meminati tasawuf sekarang ini masih baru dalam kerangka
defensif saja. Mereka galau menjalani realitas kehidupan, kemudian mereka menemukan tasawuf dan merasa cocok dengan tasawuf karena tasawuf dirasa memberi solusi yang mereka cari selama ini.
Jangankan kita umat Islam, psikolog-psikolog Barat sekarang ini banyak yang masuk ke wilayah kecerdasan spiritual, yang sebenarnya merupakan wilayah tasawuf. Tapi karena pengaruh budaya sekuler, kecerdasan spiritual yang mereka miliki hanya melayang-layang saja dan tidak akan pernah menukik menyelesaikan masalah.
DAHULU
Sebenarnya pertama Islam masuk ke wilayah Melayu (Indonesia-Malysia) sudah bernuansa sufistik. atau dengan kata lain: Islam tasawuflah yang mula-mula berkembang dan mewarnai Islam di Indonesia-Malaysia pada tahap-tahap awal. Hampir mayoritas sejarawan dan peneliti mengakui bahwa penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di negara-negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis.
Itulah sebabnya “misionarisasi” yang dilakukan kaum sufi berkembang tanpa peran. Keberhasilan itu terutama ditentukan oleh pergaulan dengan kelompok-kelompok masyarakat dari rakyat kecil dan keteladanan yang melambangkan puncak kesalehan dan ketekunan dengan memberikan pelayanan-pelayanan sosial, sumbangan, dan bantuan dalam semangat kebersamaan dan rasa persaudaraan murni.
Kaum sufi itu ibarat pakar psikologi yang menjelajahi segenap penjuru negeri demi menyebarkan kepercayaan Islam. Dari kemampuan memahami spirit Islam sehingga dapat berbicara sesuai dengan kapasitas (keyakinan dan budaya) audiensnya itulah, kaum sufi kemudian melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam.
Dengan kearifan dan cara pengajaran yang baik tersebut, mereka berhasil membumikan kalam Tuhan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Misalnya, mengalihkan kebiasaan “begadang” penduduk yang diisi dengan upacara ri-tual tertentu, saat itu menjadi sebuah halaqah zikir. Dengan kearifan serupa, para dai membolehkan musik tradisional gamelan yang merupakan seni kebanggaan kebudayaan klasik Indonesia dan paling digemari orang Jawa untuk mengiringi lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Maka tak salah bila HAR Gibb menyebut keberhasilan metode dakwah pembauran yang adaptif dan bukan konfrontatif itu sebagai keberhasilan paling spektakuler di kawasan AsiaTenggara.
Adapun kemunculan tasawuf yang dimotori oleh gerakan-gerakan tarekat yang ditandai dengan kemenyendirian para pengikut di beberapa pedesaan. Secara historis, itu berkaitan dengan politik isolasi yang dilakukan penjajah. Tindakan tersebut mendorong para pengikut tarekat menarik diri dari kehidupan perkotaan, menyingkir ke gunung-gunung, dan akhirnya mendirikan padepokan-padepokan atau pesantren-pesantren di tempat-tempat sunyi. Mereka melepaskan diri dari kehidupan politik, sosial, dan budaya perkotaan.
Kini, setelah kehidupan kian modern, rupa-rupanya terjadi perubahan yang mencolok. Sebagaimana pesantren-pesantren yang menyerbu perkotaan, tarekat tasawuf pun makin memosisikan diri sebagai bagian kehidupan perkotaan. Namun ada perbedaan paradigma antara tasawuf pedesaan dan perkotaan, bahwa tasawuf di pedesaan lebih menekankan kepada amaliyah, sedangkan tasawuf di perkotaan lebih mengarah kepada penghayatan nilai-nilai agama. Ia lebih tampil sebagai aktivitas yang berkaitan dengan penghilangan penyakit-penyakit hati dan refleksinya bermuara kepada moralitas
MASA DEPAN
Perlu diketahui bahwa tasawuf adalah bagian terpenting dalam Islam, umpama ruh bagi jasad atau jantung bagi anggota tubuh lain. Maka jika tasawuf dipisahkan dari sisi amal atau keyakinan yang sahih, jelas akan menjadi sebuah kemusyrikan, kekafiran dan bid,ah sesat.
Kemudian, misi yang dibawa Rasulullah Saw seara garis besar ada tiga unsur:
Ta’lim, pengajaran ilmu pengetahuan.
Tadzkirah atau mauidzah, pemberi peringatan dalam bentuk ceramah keagamaan.
Tazkiyah atau tarbiyah, bimbingan dan keteladanan (Qudwah).
Ketiga misi ini telah menjadi ciri utama dai dan ulama Islam terdahulu yang tidak terpisahkan, setiap mereka adalah seorang guru, penceramah dan pembimbing. Meskipun secara prioritas mereka memilih menekuni salah satu bidang tertentu, namun kapabilitas mereka dalam ketiga unsur ini tidak diragukan.
Seorang yang pandai ilmu pengetahuan (alim) boleh jadi tidak pandai ceramah dan tarbiyah, namun seorang penceramah (mudzakir) harus alim meskipun bukan seorang murobi. Adapun seorang murobi wajib alim di samping juga harus seorang mudzakir. Jadi tasawuf dalam posisi ini adalah sebagai tazkiyah, yang pelakunya harus memenuhi dua syarat di atas, sebagai orang alim dalam ilmu keislaman dan mudzakir yang pandai membangun komunkasi dakwah kepada seluruh masyarakat.
Namun realitanya, para dai dan ulama sekarang belum memenuhi syarat untuk menciptakan masyarakat yang membangun, baru sampai ke taraf membangun masyarakat. Para murobi yang tampil mengusung tasawuf bukanlah dari mereka yang telah mencapai puncak kecerdasan intelekual, emosional juga spiritual atau kesusksesan ilmu pengetahuan, penguasaan retorika dan suri teladan. Akan tetapi mereka masih mentah dalam bidangnya, mereka meminati tasawuf masih dalam kerangka defensif. Karena mereka memasuki tasawuf dimulai dari kegalauan dalam menjalani realitas kehidupan, kemudian menemukan dan merasa cocok dengan tasawuf yang dirasa memberi solusi yang mereka cari selama ini, bukan dari proses tarbiyah intensif di tangan seorang murobi yang mempunyai otoritas dari pendahulunya sehingga mata rantai itu sampai kepada Rasulullah SAW.
Jadi bangsa ini memerlukan tasawuf bukan sebagai ajaran (pemikiran) dan wejangan belaka, akan tetapi lebih memerlukan kepada sosok pribadi sebagai suri teladan akhlak dan qudwah dalam nilai-nilai spiritual islam.
Bangsa ini butuh pemimpin besar. seorang yang mampu berfikir, merasa, dan cita rasanya itu melampaui sekat-sekat ruang dimana ia berada, waktu dimana ia hidup. Karenanya si orang besar harus berfikir 50 tahun kedepan atau 100 tahun kedepan. Kalau dia berbuat dia menyadari bahwa yang diperbuat itu juga akan ditonton dan direspon oleh 200.000.000 orang.
Seorang besar yang setelah menguasai ilmu pengetahuan dan retorika, ia juga punya ghiroh (semangat) tasawuf yang akan secara alami merontokkan penyakit nasional seperti korupsi, maksiat dan lain sebagainya.
Karena korupsi dan segala bentuk maksiat di Indonesia sudah menjadi konsep dan budaya. Semua orang korupsi dan tidak merasa bersalah; ah yang lain juga begitu!. Nah ini harus diatasi dengan contoh pemimpin yang diikuti dengan peraturan, tetapi untuk masyarakat kita keteledanan yang tinggi itu lebih efektif ketimbang demokratisasi. Seperti pilkada, tidak melahirkan banyak manfaat, karena orang masih bisa dibayar, tetapi keteladanan pemimpin itu sangat efektif. Dan itu yang dicari anak-anak muda sekarang.
Kiranya untuk konteks kekinian, hanya pemimpin yang bertasawuf saja yang dapat memberikan keteladanan pada generasi mendatang. Sehingga pendekatan sufistik di era sekarang ini tidak lagi pada mencari jalan keselamatan dan keuntungan materi, lebih dari itu sebuah pendekatan sufistik yang dapat menciptakan masyarakat yang mampu membangun masa depan.

Oleh: Syaikhuna Al-Fadhil Sayidi Rohimuddin Nawawi Al-Bantani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar