Selasa, 03 Juli 2012

Biografi Al-habib Al-Imam Abubakar bin Muhammad bin Umar Assegaf , Gresik

Al-habib Al-Imam Abubakar bin Muhammad bin Umar  Assegaf , Gresik


Tempat Berlabuhnya Para Auliya’

Alkisah tentang seorang Imam Al-Qutb yang tunggal dan merupakan
qiblat para auliya’ di zamannya, sebagai perantara tali temali bagi
para pembesar yang disucikan Allah jiwanya, bagai tiang yang berdiri
kokoh dan laksana batu karang yang tegar diterpa samudera, seorang yang
telah terkumpul dalam dirinya antara Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin,
beliau adalah Al-habib Al-Imam Abubakar bin Muhammad bin Umar bin
Abubakar bin Imam (Wadi-Al-ahqaf) Al-habib Umar bin Segaf Assegaf.

Nasab yang mulia ini terus bersambung dari para pembesar ke kelompok
pembesar lainnya, bagai untaian rantai emas hingga sampailah kepada
tuan para pendahulu dan yang terakhir, kekasih yang agung junjungan
Nabi Muhammad SAW.

Habib Abubakar dilahirkan di kota Besuki, sebuah, kota keci di
kabupaten Sitibondo Jawa Timur, pada tanggal 16 Dzulhijjah 1285 H. Dlm
pertumbuhan hidupnya yang masih kanak-kanak, ayahanda beliau tercinta
telah wafat dan meninggalkannya di kota Gresik. Sedang disaat-saat itu
beliau masih membutuhkan dan haus akan kasih sayang seorang ayah. Namun
demikian beliau pun tumbuh dewasa di pangkuan Inayah Ilahi dlm
lingkungan keluarga yang bertaqwa yang telah menempanya dengan
pendidikan yang sempurna, hingga nampaklah dalam diri beliau pertanda
kebaikan dan kewalian.

Konon diceritakan bahwa beliau mampu mengingat segala kejadian yang
dialaminya ketika dalam usia tiga tahun dengan secara detail. Hal ini
tak lain sebagai isyarat akan kekuatan Ruhaniahnya yang telah siap

untuk menampung luapan anugerah dan futuh dari Rabbnya Yang Maha Mulia.

Pada tahun 1293 H. segeralah beliau bersiap untuk melakukan
perjalanan jauh menuju kota asal para leluhurnya, “Hadramaut”. Kota
yang bersinar dengan cahaya para auliya’. Perjalanan pertama ini adalah
atas titah dari nenek beliau (Ibu dari ayahnya) seorang wanita salihah
“Fatimah binti Abdullah Allan”. Dengan ditemani seorang yang mulia,
Assyaikh Muhammad Bazmul, beliaupun berangkat meninggalkan kota
kelahiran dan keluarga tercintanya. Setelah menempuh jarak yang begitu
jauh dan kepayahan yang tak terbayangkan maka sampailah beliau di kota
“Siwuun”. sedang pamannya tercinta “Al-allamah Al-habibAbdillah bin
Umar” beserta kerabat yang lain telah menyambut kedatangannya di luar
kota tersebut.

Tempat tujuan pertamanya adalah kediaman seorang Allamah yang
terpandang di masanya, Al-Arif billah “Al-habib syaikh bin Umar bin
Seggaf”. Sesampainya di sana Habib Syaikh langsung menyambut seraya
memeluk dan menciuminya, tanpa terasa air mata pun bercucuran dari
kedua matanya, sebagai ungkapan bahagia atas kedatangan dan atas apa
yang dilihatnya dari tanda-tanda wilayah di wajah beliau yang bersinar
itu. Demikianlah seorang penyair berkata: “hati para auliya’ memiliki
mata yang dapat memandang apa saja yang tak dapat dipandang oleh
manusia lainnya”. Dengan penuh kasih sayang, Habib Syaikh mencurahkan
segala perhatian kepadanya, termasuk pendidikannya yang maksimal telah
membuahkan kebaikan dalam diri Habib Abubakar yang baru beranjak
dewasa. Bagi Habib Bakar menuntut ilmu adalah segala-galanya dan
melalui pamannya “Al-habib Umar” beliau mempelajari Ilmu fiqih dan
tasawwuf.

Ketika menempa pendidikan dari sang paman inilah, pada setiap malam
beliau dibangunkan untuk shalat tahajjud bersamanya dalam usia yang
masih belia. Hal ini sebagai upaya mentradisikan qiyamul-lail yang
telah menjadi kebiasaan orang-orang mulia di sisi Allah atas dasar
keteladanan dari Baginda Rasulillah SAW. Hingga apa yang dipelajari
beliau tidak hanya sebatas teori ilmiah namun telah dipraktekkan dalam
amaliah kesehariannya.

Rupanya dalam kamus beliau tak ada istilah kenyang dalam menuntut
ilmu, selain dari pamannya ini, beliau juga berkeliling di seantero
Hadramaut untuk belajar dan mengambil ijazah dari para ulama’ dan
pembesar yang tersebar di seluruh kota tersebut. Salah seorang dari
sederetan para gurunya yang paling utama, adalah seorang arif billah
yang namanya termasyhur di jagad raya ini, guru dari para guru di
zamannya ” Al-Imam Al-Qutub Al-habib Ali bin Muhammad Al-habsyi” r.a.
sebagai Syaikhun-Nadzar. (Guru Pemerhati).

Perhatian dari maha gurunya ini telah tertumpahkan pd murid
kesayangannya jauh sebelum kedatangannya ke Hadramaut, ketika beliau
masih berada di tanah Jawa. Hal ini terbukti dengan sebuah kisah yang
sangat menarik antara Al-habib Ali dengan salah seorang muridnya yang
lain. Pada suatu hari Habib Ali memanggil salah satu murid setianya.
Beliau lalu berkata “Ingatlah ada tiga auliya’ yang nama, haliah dan
maqam mereka sama”. Wali yang pertama telah berada di alam barzakh,
yakni Al-habib Qutbul-Mala’ Abubakar bin Abdullah alydrus, dan yang
kedua engkau pernah melihatnya di masa kecilmu, yaitu Al-habib Abubakar
bin Abdullah at-Attas, adapun yang ketiga akan engkau lihat dia di
akhir usia kamu. Habib Ali pun tidak menjelaskan lebih lanjut siapakah
wali ketiga yang dimaksud olehnya.

Selang waktu beberapa tahun kemudian, tiba-tiba sang murid tersebut
mengalami sebuah mimpi yang luar biasa. Dalam sebuah tidurnya ia
bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, kala itu dalam mimpinya Nabi
SAW menuntun seorang anak yang masih kecil sembari berkata kepada orang
tersebut, lihatlah aku bawa cucuku yang shaleh “Abubakar bin Muhammad
Assegaf”! Mimpi ini terulang sebanyak lima kali dalam lima malam
berturut-turut, padahal orang tersebut tak pernah kenal dengan Habib
Abubakar sebelumnya. Kecuali setelah diperkenalkan oleh Nabi SAW.

Pada saat ia kemudian bersua dengan Habib Abubakar Assegaf, iapun
menjadi teringat ucapan gurunya tentang tiga auliya’ yang nama, haliah
dan maqamnya sama. Lalu ia ceritakan mimpi tersebut dan apa yang pernah
dikatakan oleh Habib Ali Al-habsyi kepada beliau. Kiranya tak meleset
apa yang diucapkan Habib Ali beberapa tahun silam bahwa ia akan melihat
wali yang ketiga di akhir usianya, karena setelah pertemuannya dengan
Habib Abubakar ia pun meninggalkan dunia yang fana ini, berpulang ke
Rahmatullah, Takdiragukan lagi perhatian yang khusus dari sang guru
yang rnulia ini telah tercurahkan kepada murid kesayangannya, hingga
suatu saat Al-habib Ali Al-habsyi menikahkan Habib Abubakar bin
Muhammad Assegaf dengan salah seorang wanita pilihan gurunya ini di
kota Siwuun, bahkan Habib Ali sendirilah yang meminang dan menanggung
seluruh biaya perkawinannya.

Selain Habib Ali, masih ada lagi yang menjadi “Syaikhut-Tarbiah”
(Guru pendidiknya) yakni pamannya tercinta Al-habib Abdillah bin Umar
Assegaf. Adapun yang menjadi “Syaikhut-Tasliik” (Guru pembimbing
beliau) Al-habib Muhammad bin Idrus Al-habsyi. Sedang yang menjadi
“Sya’ikul-Fath” (Guru pembuka) adalah Al-wali- Al-mukasyif Al-habib
Abdulqadir bin Ahmad bin Qutban yang acap kali memberinya kabar gembira
dengan mengatakan:

“Engkau adalah pewaris haliah kakekmu Umar bin Segaf”.

Demikianlah beliau menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar,
mengambil ijazah serta ilbas dengan berpindah dari pangkuan para
auliya’ dan pembesar yang satu dan yang lainnya di seluruh Hadramaut,
Seiwun, Tarim dan sekitarnya yang tak dapat kami sebutkan satu persatu
nama mereka. Setelah semuanya dirasa cukup dan atas izin dari para
gu¬runya, beliaupun mulai meninggal-kan kota para. auliya’ itu untuk
kembali ke tanah Jawa, tepatnya pada tahun 1302 H.

Dengan ditemani Al-Arif billah Alhabib Alwi bin Segaf Assegaf
(dimakamkan di Turbah Kebon-Agung Pasuruan) berangkatlah beliau ke
Indonesia. Adapun tujuan pertamanya adalah kota kelahirannya Besuki
-Jawa timur, setelah tiga tahun tinggal di sana, beliau lalu berhijrah
ke kota Gresik pada tahun 1305 H dalam usia dua puluh tahun. Dan di
kota inilah beliau bermukim. Mengingat usianya yang masih sangat muda,
maka kegiatan menuntut Ilmu, Ijazah dan Ilbas masih terus dilakoninya
tanpa kenal lelah.

Beliaupun terus menerus berkunjung kepada para auliya’ dan
ulama’yang telah menyinari bumi pertiwi ini dengan kesalehannya.
Sebagaimana Al-habib Abdullah bin Muhsin Al-attas, Alhabib Ahmad bin
Abdullah Al-attas, Alhabib Ahmad bin Muhsin Alhaddar, Alhabib Abdullah
bin Ali Alhaddad, Alhabib Abubakar bin Umar bin Yahya, Alhabib
Muham¬mad bin Ahmad Almuhdar dan masih banyak lagi yang lainnya,
Radhiallahu anhum ajmaiin.

Pada tahun yang sama tepatnya pada hari Jum’at, telah terjadi sebuah
peristiwa yang di luar jangkauan akal manusia dalam diri beliau. Yaitu
di saat beliau tengah khusuk mendengarkan seorang khatib yang
menyampaikan khutbahnya di atas mimbar, tiba-tiba beliau mendapat
lintasan hati Rahmani dan sebuah izin Rabbaniy, ketika itu nuraninya
berkata agar beliau segera mengasingkan diri dari manusia sekitarnya.
Hatinya pun menjadi lapang untuk melakukan uzlah menjauhkan diri dari
kehidupan dunia.

Seketika itu juga beliau beranjak meninggalkan Masjid Jami’ langsung
menuju rumah, dan sejak saat itu beliau tidak lagi menemui seorang pun
dan tidak pula memberi kesempatan orang untuk menemuinya. Hal ini
beliau lakukan tiada lagi hanya untuk mengabdikan diri dan beribadah
kepada Rabbnya dengan segenap jiwa raganya, dan berlangsung sampai lima
belas tahun lamanya. Hingga tibanya izin dari Allah agar beliau keluar
dari khalwatnya untuk kembali berinteraksi dengan manusia di sekitarnya.

Pada saat menjelang keluar dari khalwatnya, beliau disambut oleh
gurunya Alhabib Muhammad bin Idrus Alhabsyi, seraya berkata. “Aku telah
memohon dan bertawajjuh pada Allah selama tiga hari tiga malam untuk
mengeluarkan Abubakar bin Muhammad Assegaf”. Habib Muhammad lalu
menuntunnya keluar dan membawanya berziarah ke makam seorang wali yang
tersohor dan menjadi mahkota bagi segala kemuliaan di zamannya, yakni
Alhabib Alwiy bin Muhammad Hasyim r.a.

Setelah ziarah, beliau berdua lalu berangkat menuju kota Surabaya ke
kediaman Alhabib Abdullah bin Umar Assegaf. Di tengah- tengah
orang-orang yang hadir pada saat itu, berkatalah Alhabib Muhammad bin
Idrus sembari tangannya menunjuk ke arah Habib Abubakar “Ini adalah
khasanah dari seluruh khasanah Bani Alawiy yang telah kami buka untuk
memberi manfaat kepada orang khusus dan umum”.

Pasca kejadian tersebut, mulailah Alhabib Abubakar menetapkan jadwal
Qira’ah (pembacaan kitab-kitab salaf) di rumahnya. Dalam waktu yg
singkat beliau telah menjadi tumpuan bagi umat di zamannya, bagaikan
Ka’bah yang tak pernah sepi dari peziarah yang datang mengunjunginya
dari berbagai penjuru dunia. Siapa saja yang datang kepada beliau
disertai dg HusnudDzan (berbaik-sangka) maka ia akan beruntung dengan
tercapai segala maksudnya dalam waktu yang dekat.

Di Majlis yang diadakannya itu beliau telah mengkhatamkan kitab
“Ihya’ Ulumuddin” sebanyak lebih dari empat puluh kali. Dan disetiap
mengkhatamkannya, beliau selalu mengadakan jamuan besar-besaran untuk
orang yang hadir di majlisnya. Alhabib Abubakar dikenal sebagai orang
yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sirah dan jejak para
salafnya, bahkan pada segala adat istiadatnya. Seluruh majlis beliau
senantiasa dimakmurkan dengan kajian-kajian ilmiah yang bersumber dari
semua kitab karya para salafnya.

Jika kita berbicara tentang Maqam dan kedudukan beliau, maka tak
satupun dari para Auliya’ pada masa beliau yang menyangsikannya. Beliau
telah mencapai tingkatan “Asshiddiqiyyah-Alkubra” yang telah
diisyaratkan sebagai “Sahibulwaqt” {panglima tertinggi para Auliya’ di
masanya). Keluhuran maqamnya telah diakui oleh seluruh yang hidup di
zaman beliau. Telah berkata Alhabib Muhammad bin Ahmad Almuhdar dalam
sebuah suratnya kepada beliau (dengan mengutip beberapa ayat Alqur’an).

“Demi fajar “Dan malam yang sepuluh” dan yang genap dan yang ganjil”
(Sesungguhnya Saudaraku Abubakar bin Muham¬mad Assegaf adalah permata
yang lembut yang beredar dan beterbangan menjelajah seluruh maqam para
leluhur-nya)..

Berkata pula panutan kita, seorang yang telah diakui keunggulan dan keilmuannya Al-habib Alwiy bin Muhammad Alhaddad :

“Sesungguhnya Alhabib Abubakar bin Muhammad Assegaf adalah “Alqutbul
Ghauts” dan sesungguhnya ia adalah tempat tumpuan pandangan Allah”.

Pada kesempatan lain beliau berkata:

“Aku tidak takut (segan) kepada satu pun makhluk Allah kecuali kepada habib Abubakar bin Muhammad Assegaf”.

Sebenarnya pada masa keemasan itu banyak sekali orang-orang yang patut
disegani, namun kini mereka semua telah berpulang ke rahmat Allah SWT.
Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan beliau yang tak dapat kami torehkan
dalam tulisan ini.

Berkata juga seorang sumber kebaikan di zamannya, dan kebanggaan
pada masanya, seorang da’i yang selalu mengajak kejalan Allah dengan
ucapan dan perbuatannya, Alhabib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi
(Kwitang-Jakarta). Ketika itu di kediaman Habib Abubakar (Gresik), pada
saat beliau menjalin persaudaraan dengannya, seraya memberi isyarat
kepada Habib Abubakar dan air matanya berlinang, berkata kepada para
hadirin saat itu “Ini (habib Abubakar) adalah raja lebah (raja para
auliya’) ia saudaraku di jalan Allah, lihatlah kepadanya! Karena
memandangnya adalah ibadah”.

Berkata seorang panutan orang-orang yang arif Alhabib Husain bin
Muhammad Alhaddad, sesungguhnya Alhabib Abubakar bin Muhammad Assegaf
adalah seorang khalifah, dialah pemimpin para auliya’ di masanya, ia
telah mencapai “Maqam as-Syuhud” hingga beliau mampu menerawang hakekat
dari segala sesuatu. Beliau melanjutkan ungkapannya dengan mengutip
sebuah ayat al-Qur’an “Sungguh patut jika dikatakan padanya; Isa tidak
lain hanyalah seorang hamba yang kami berikan kepadanya nikmat
(kenabian) (QS: Azzukruf59).

Maksudnya beliau tidak lain hanyalah seorang hamba yang telah
dilimpahi nikmat dan anugerah Allah SWT. Kiranya telah cukup sebagai
bukti keluhuran maqam beliau yang telah mencapai kedudukan bersua
dengan Nabi SAW dalam keadaan terjaga. Berkata yang mulia r.a. bahwa:

“Arrasul SAW telah masuk menemuiku sedang aku dalam keadaan terjaga, beliau lalu memelukku dan akupun memeluknya”.

Para auliya’ bersepakat, bahwa Maqam Ijtima’ (bertemu) dengan Nabi
SAW dalam waktu terjaga, adalah sebuah maqam yang melampaui seluruh
maqam yang lain. Hal ini tidak lain adalah buah dari Ittiba’
(keteladanan) beliau yang tinggi terhadap Nabinya SAW. Adapun
kesempurnaan Istiqamah merupakan puncak segala karamah. Seorang yang
dekat dengan beliau berujar bahwa aku sering kali mendengar beliau
mengatakan:

“Aku adalah Ahluddarak, barang siapa yang memohon pertolongan Allah
melaluiku maka dengan izin Allah aku akan membantunya, barang siapa
yang berada dalam kesulitan lalu memanggil-manggil namaku maka aku akan
segera hadir di sisinya dengan izin Allah”.

Pada saat menjelang ajalnya, seringkali beliau berkata “Aku
berbahagia untuk berjumpa dengan Allah” maka sebelum kemangkatannya ke
rahmat Allah, beliau mencegah diri dari makan dan minum selama lima
belas hari, namun hal itu tak mengurangi sedikitpun semangat ibadahnya
kepada Allah SWT. Setelah ajal kian dekat menghampirinya, diiringi
kerinduan berjumpa dengan khaliqnya, Allah pun rindu bertemu dengannya,
maka beliau pasrahkan ruhnya yang suci kepada Tuhannya dalam keadaan
ridho dan diridhoi

Beliau wafat pada hari Ahad malam Senin, hari ke tujuh belas di bulan Dzulhijjah 1376 H, dalam usia 91 tahun. Dan dimakamkan di sebelah masjid Jamik Gresik.

Rahimahullah Rahmatal Abrar. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar